Lemahnya posisi tawar ekonomi umat Islam di Indonesia dan ketidakmampuan untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang ada, telah menyebabkan posisi umat sangat lemah, dan seringkali menjadi kambing hitam serta terpinggirkan dalam proses pembangunan. Membangun sumberdaya ekonomi adalah sebuah keharusan, sebagai upaya untuk merancang masa depan perekonomian umat.
Fakta menunjukkan bahwa hampir 90 persen pelaku usaha ekonomi berskala kecil adalah umat Islam. Namun ironisnya, dari keseluruhan usaha mikro yang ada, dapat dikatakan umat Islam masih belum memiliki institusi yang kuat, mapan, dan bebas dari intervensi pihak manapun. Untuk itu, pengembangan usaha mikro umat pun harus mendapat perhatian kita semua.
Sesungguhnya, ide pemunculan pembiayaan mikro syariah, atau yang dikenal sebagai lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), haruslah ditopang konsep dan mekanisme yang jelas, sehingga kontribusinya dapat dirasakan umat (SA Roosly, 2002).
Saat ini, terjadi ketimpangan. Fokus dan perhatian prospek pengembangan ekonomi umat hanya bergantung pada sektor perbankan dan institusi finansial lainnya --yang skalanya lebih bersifat menengah ke atas-- dibandingkan dengan prioritas untuk menggarap sektor kecil dan menengah ke bawah. Akibatnya, arah pengembangan ekonomi yang berbasis keumatan ini menjadi tidak seimbang. Padahal, seharusnya, melalui pengembangan usaha mikro inilah landasan penataan perekonomian masyarakat beserta infrastrukturnya dibangun dan diperkuat.
Perkembangan LKM
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah memberi pelajaran penting tentang kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya. Perekonomian negeri ini ternyata dikuasai sektor korporasi atau usaha besar yang dikuasai segelintir orang. Sementara itu, di sisi lain, pilar pembangunan ekonomi lainnya seperti usaha kecil dan menengah (UKM) tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Perannya seringkali tidak berarti dalam perekonomian nasional. Ironisnya, ketika terjadi krisis, terbukti sektor korporasi tidak mampu bertahan dengan baik. Justru UKM, yang tadinya dianggap kurang berperan dalam perekonomian nasional, terbukti lebih mampu bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang mengarah pada krisis multidimensi tersebut.
Dengan fakta tersebut, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sektor ini dengan melahirkan paradigma pengembangan sektor UKM secara lebih serius. Sehingga kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan, nantinya, benar-benar mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap sektor ini. Tentu saja, keberadaan UKM tidak dapat dilepaskan dari keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM).
Di Indonesia, LKM dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu yang bersifat formal dan informal. Lembaga yang bersifat formal ada yang berbentuk bank, ada pula yang berbentuk lembaga non-bank. Sedangkan LKM yang bersifat informal biasanya berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kelompok swadaya masyarakat, baitul maal wat tamwil (BMT), serta berbagai bentuk institusi yang pengelolaanya ditangani langsung oleh masyarakat.
Hingga tahun 2002, jumlah LKM dari berbagai jenis yang beroperasi secara aktif di Indonesia mencapai sekitar 53 ribu unit. Namun demikian, dari jumlah tersebut, lembaga yang beroperasi dengan menggunakan prinsip syariah masih sangat kecil. Jumlah nasabah yang dilayani LKM melebihi 17 juta orang, sedangkan jumlah kredit mikro yang telah disalurkan mencapai lebih dari Rp 16 triliun.
Dari sisi jumlah nasabah, LKM jenis unit simpan pinjam memiliki jumlah nasabah terbesar, yaitu 10 juta orang lebih. Sedangkan dari sisi jumlah kredit mikro yang berhasil disalurkan, BRI Unit Desa menyalurkan kredit dalam jumlah terbesar, yaitu sekitar Rp 7,8 triliun (Bank Indonesia, 2002).
Berdasarkan data tersebut, posisi LKMS masih terbilang sangat kecil skalanya --baik ditinjau dari segi jumlah maupun dari segi penguasaan aset. Padahal, sekitar 95 persen dari nasabah yang ada adalah umat Islam. Kita bisa melihat bahwa jaminan aktivitas pembiayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah masih sangat minim keberadaannya. Inilah tantangan besar yang harus dijawab dengan sebuah kerja keras secara kolektif.
Membangun potensi
Dilihat dari potensi dan sumber pendanaan yang sudah berjalan, sebenarnya LKMS memiliki potensi pembiayaan dan pengelolaan dana ekonomi umat yang cukup besar. Jika pengelolaan dana umat bisa dilakukan secara terpadu antarinstitusi keuangan syariah, maka hal tersebut akan menjadi sumber kekuatan yang sangat besar.
Sebagai contoh, jika terjalin sinergi yang konstruktif antarlembaga pengelola zakat, infak, dan shadaqah (ZIS), maka dana ZIS yang terkumpul akan mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tentu saja dengan catatan bahwa program-program yang dilakukan memiliki sasaran yang jelas dan tepat. Namun yang harus diingat adalah besarnya potensi tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa diiringi perbaikan dan inovasi dari semua elemen yang terkait di dalamnya, baik pada aspek kelembagaan, pendanaan, maupun pelayanan. Ketiga aspek tersebut, menurut penulis, memegang peranan kunci, sehingga perlu penguatan.
Dari aspek kelembagaan, terdapat dua hal yang mendesak untuk dilakukan, yaitu pengakuan dan apresiasi terhadap keberadaan dan peran LKMS untuk mengemban amanah dana umat secara profesional, dan penguatan serta perlindungan bagi LKMS dan nasabahnya. Salah satu bentuk apresiasi ini adalah melalui pemberian kejelasan status dan posisi legal-formal bagi LKMS. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua LKMS beroperasi dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Diharapkan, ke depan, akan muncul lembaga yang sehat, mampu menawarkan solusi keuangan, dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Sehingga dampaknya akan dirasakan langsung oleh umat. Dari aspek pendanaan, terdapat beberapa hal yang juga perlu dilakukan. Antara lain peningkatan aksesibilitas LKMS pada sumber dana sekunder seperti perbankan syariah, mobilisasi dana lokal dan dana luar negeri, serta peningkatan kerja sama antar-LKMS --termasuk di dalamnya peningkatan transparansi pengelolaan dana dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan. Sedangkan dari aspek pelayanan, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, seperti pemberian pelatihan, konsultasi, dan pendampingan bagi LKMS dalam menjalankan fungsinya.
Yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana menjadikan LKMS sebagai penasihat usaha bagi nasabahnya, dengan memberikan prinsip-prinsip pengelolaan usaha dan perilaku usaha yang sesuai syariah. Sehingga diharapkan akan lahir generasi baru dengan karakter Utsman bin ‘Affan, Abu Bakar Siddik, maupun Abdurrahman bin Auf. Mereka tangguh sebagai usahawan, sekaligus kokoh menjaga akidah dan memegang prinsip.
Sumber pertolongan
Memperkuat sektor usaha kecil dan menengah sesungguhnya merupakan dasar bagi kita dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, membangun usaha mikro merupakan sumber turunnya pertolongan dan rezeki dari Allah SWT, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: ''kalian akan ditolong dan diberi rezeki dengan sebab kaum dhuafa di antara kalian'' (HR Daelami).
Yang dimaksud hadits tersebut adalah rahmat Allah akan turun ketika kita menunjukkan keberpihakan kita terhadap masyarakat kecil dan termarjinalkan --termasuk UKM-- agar mereka dapat terberdayakan. Bahkan dalam QS 28: 5 ditegaskan bahwa masyarakat yang dianggap lemah pun memiliki potensi dan bisa menjadi sumber kekuatan. Artinya, menyepelekan mereka, apalagi kemudian mengkhianatinya, hanya akan menyebabkan hilangnya potensi yang dimiliki suatu masyarakat, bangsa, dan negara.
Sehingga, bagi kita, membangun perekonomian nasional yang kuat, hanya dapat dilakukan manakala institusi ekonomi mikro negeri ini mendapatkan perhatian dan dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, DPR, maupun masyarakat lain secara keseluruhan. Inilah paradigma yang harus dibangun dan ditanamkan, agar problematika kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di Tanah Air tercinta ini dapat diatasi. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar