Sekarang, keadaan sudah serba enak. Daru Widodo memiliki ruko tempat usaha, punya rumah, dan punya kendaraan. Ini berbanding terbalik dengan saat Daru merintis usahanya sembilan tahun lalu.”Dulu saya sengsara mbak,”ujar Daru Widodo saat ditemui di tokonya di Ruko Taman Lakota, Blok E nomor 5, Batam Centre. Dulu, untuk memulai usaha ia nekad walau hanya bermodal menyebarkan brosur saja.
Tahun 2000, Daru datang mencari pekerjaan ke Batam usai tamat kuliah di ITN Malang. Dengan berbekal uang Rp150 ribu, Ia nekad ke Batam sendirian dengan kapal laut. Sialnya dalam perjalanan di kapal itu, justru dompetnya dicopet. Jadilah bekal uang, SIM, dan KTP hilang semua.
Begitu tiba di Batam, Daru benar-benar dibuat pusing. Tidak ada uang, tak ada identitas. Belum lagi desakan kebutuhan perut gara-gara seharian tak makan. ”Saat itu yang terpikir oleh saya. Pokoknya saya asal dikasih makan, saya mau kerja apa saja,” ujar Daru Widodo.
Beruntung sebuah rumah makan yang menjadi bagian dari Penginapan Kusuma Jawa di daerah Pelita mau menerimanya bekerja. Di rumah makan itu, Daru mau mencuci piring, asalkan dikasih makan. Ia menjadi tukang cuci piring di rumah makan itu sampai 6 bulan. “Saya mau jadi tukang cuci piring karena sudah tidak ada pilihan,” kata Pria asal Temanggung Jawa Timur.
Sembari bekerja sebagai tukang cuci piring, Daru mencoba mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan. Tak lama setelah itu, keberuntungan mulai menyapanya. Daru akhirnya diterima bekerja di perusahaan yang memproduksi fiber di Kawasan Industri Kara Batam Centre. Di perusahaan itu, Daru menjabat supervisor dengan upah yang berlipat-lipat daripada bekerja menjadi tukang cuci piring. ”Saya merasa waktu itu, wah, kayaknya sudah ada perubahan,”ujar Daru senang.
Untuk tempat tinggal, Daru memutuskan kos di perumahan Citra Batam. Begitu bekerja, muncul keinginan Daru untuk memiliki sepeda motor. Daru mencari ide untuk mendapatkan uang muka membeli sepeda motor. Saking ingin sekali punya motor, ia memutuskan pulang pergi dari Citra Batam ke Kara Industri berjalan kaki. Akhirnya usai tiga bulan berjalan kaki, Daru berhasil mengumpulkan uang Rp3 juta untuk uang muka beli motor yang diimpikannya.
Meski sudah punya penghasil tetap Daru Widodo yang terbiasa ulet, kerja keras mencari uang tambahan. Motor yang dibelinya, Ia gunakan untuk berjualan kacang telur. ”Saya suruh orang saja buat kacang telur. Terus saya jual dengan dititip ke kaki lima. Dulu pedagang kaki lima banyak. Ada sekitar 150 kaki lima yang saya titip kacang telur,” katanya.
Setiap hari seusai pulang kerja, Darupun berkeliling menitipkan kacang telur dan mengambil keuntungan dari hasil penjualan kacang telur di setiap pedagang kaki lima. Biarpun usahanya kecil-kecilan, ternyata hasil penjualan kacang telur di kaki lima lumayan menguntungkan. Setiap hari saja, dari satu warung untungnya Rp2.000. Artinya kalau ada 20 warung berarti untungnya Rp40.000. Bisa dihitung keuntungan cukup besar, soalnya Ia menitipkan kacang telurnya di 150 kaki lima yang ada di Batam Centre, Nagoya Jodoh, Sekupang dan daerah Batam lainnya.
Usaha jualan kacang telur lenyap, seiring dengan makin berkurannya kaki lima karena pedagang-pedagang kaki lima ditertibkan oleh pemerintah. Saat itulah usaha kacang telur tutup. ”Ya hilang kacang telurnya. Tapi saya sudah untung,” ujarnya.
Akhirnya Punya Bengkel Teralis Sendiri
KEADAAN Daru berubah menjadi lebih baik setelah menikahi gadis bernama Laily Masruhah. Mereka berdua akhirnya membeli rumah di KDA, lalu membuka usaha wartel di rumahnya. Usaha inipun lumayan menghasilkan di masa itu.
Setelah usaha wartelnya tutup. Daru mencari bisnis lain dan ketemulah bisnis dengan prospek cerah yaitu bisnis pembuatan teralis. Perumahan padat di Batam Centre merupakan pangsa pasar besar. Iapun segera mewujudkannya. Karena Daru yang tak bisa membuat teralis secara teknis, maka ia menyuruh orang lain untuk membuat teralis.
Waktu itu Daru hanya membuat brosur sederhana dari kertas kuarto. Di brosur itu, ia menuliskan Maharani menerima pembuatan terlaris. Lalu diberi gambar teralis sederhana dari komputer. Lima ratus (500) lembar brosur disebarkan ke beberapa perumahan. ”Sebelum pergi bekerja, saya pagi-pagi keliling ke rumah-rumah. Saya selipin brosur di bawah pintu,” katanya.
Baginya, untuk menawarkan jasa teralis tak perlu memakai contoh-contoh foto teralis. Selain karena baru merintis, menawarkan brosur dengan foto aneka teralis tidak memungkinkan bagi Daru. ”Saya tak percaya kalau mau usaha itu harus pakai modal dulu. Tanpa modalpun kita sebenarnya bisa memulai usaha. Saya buka usaha teralis tak pakai modal, hanya modal brosur,” ujar Daru.
Menurutnya usaha itu harus pelan-pelan. Justru dengan pelan-pelan itu kita menjadi tahu kelemahan usaha yang sedang dijalankan. Kalau usaha dimulai dengan modal, usaha itu juga belum tentu sukses dan berjalan. Usai menyebar brosur, besok harinya, seseorang menelponnya dan itulah pesanan teralis perdananya. Daru menerapkan sistem uang muka 30 persen pada pelanggannya itu. Untuk mengerjakan teralis pesanan konsumennya, Daru mendatangi jasa pembuatan teralis lain untuk mengerjakannya yang sebelumnya telah dilobi untuk bekerjasama dengannya.
Kondisi seperti itu berjalan hanya lima bulan saja. Pasalnya pelanggannya kian banyak, tapi teralis yang diorderkan dan di-sub ke jasa pembuatan teralis lain rupanya tidak selesai dalam tempo yang dijanjikan ke pelanggan. ‘”Saya jadi banyak dikomplen. Ya sudah, akhirnya saya putuskan untuk dikerjakan sendiri. Saya ajak dua orang yang saya kenal dan bisa buat teralis. Saya bilang, ayolah ikut dengan saya untuk membuat teralis. Dan mereka mau,” cerita Daru.
Ia sendiri, sampai sekarang secara teknik tak mengerti pembuatan teralis. Untuk mengerjakan teralis-teralis itu, Daru menyewa sebuah rumah di BidaAsri I, sementara kantor usaha jasa pembuatan teralis tetap dijalankan dari rumahnya di KDA. Perlahan-lahan pelanggannyapun kian banyak seiring dengan upaya pelayanan terbaik dalam pembuatan teralis di Maharani. Salah satunya soal waktu pengerjakan teralis, Daru berupaya selalu tepat waktu sesuai dengan yang dijanjikan. Sekarang karyawannya pun tak lagi dua, tapi sudah tujuh orang karyawan. Kalau order sedang banyak, tenaga borongan makin banyak. Usahanya makin maju, niat Daru untuk keluar dari perusahaannya semakin kuat. ”Saya merasa, kerja di perusahaan itu, rasanya kok nggak maju-maju,” ujarnya.
Akhirnya ia memutuskan keluar dari perusahaan setelah bekerja hampir 4 tahunan. Tak lama setelah Daru keluar, ternyata perusahaan tempat bekerja itu bangkrut.
Tahun 2000, Daru datang mencari pekerjaan ke Batam usai tamat kuliah di ITN Malang. Dengan berbekal uang Rp150 ribu, Ia nekad ke Batam sendirian dengan kapal laut. Sialnya dalam perjalanan di kapal itu, justru dompetnya dicopet. Jadilah bekal uang, SIM, dan KTP hilang semua.
Begitu tiba di Batam, Daru benar-benar dibuat pusing. Tidak ada uang, tak ada identitas. Belum lagi desakan kebutuhan perut gara-gara seharian tak makan. ”Saat itu yang terpikir oleh saya. Pokoknya saya asal dikasih makan, saya mau kerja apa saja,” ujar Daru Widodo.
Beruntung sebuah rumah makan yang menjadi bagian dari Penginapan Kusuma Jawa di daerah Pelita mau menerimanya bekerja. Di rumah makan itu, Daru mau mencuci piring, asalkan dikasih makan. Ia menjadi tukang cuci piring di rumah makan itu sampai 6 bulan. “Saya mau jadi tukang cuci piring karena sudah tidak ada pilihan,” kata Pria asal Temanggung Jawa Timur.
Sembari bekerja sebagai tukang cuci piring, Daru mencoba mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan. Tak lama setelah itu, keberuntungan mulai menyapanya. Daru akhirnya diterima bekerja di perusahaan yang memproduksi fiber di Kawasan Industri Kara Batam Centre. Di perusahaan itu, Daru menjabat supervisor dengan upah yang berlipat-lipat daripada bekerja menjadi tukang cuci piring. ”Saya merasa waktu itu, wah, kayaknya sudah ada perubahan,”ujar Daru senang.
Untuk tempat tinggal, Daru memutuskan kos di perumahan Citra Batam. Begitu bekerja, muncul keinginan Daru untuk memiliki sepeda motor. Daru mencari ide untuk mendapatkan uang muka membeli sepeda motor. Saking ingin sekali punya motor, ia memutuskan pulang pergi dari Citra Batam ke Kara Industri berjalan kaki. Akhirnya usai tiga bulan berjalan kaki, Daru berhasil mengumpulkan uang Rp3 juta untuk uang muka beli motor yang diimpikannya.
Meski sudah punya penghasil tetap Daru Widodo yang terbiasa ulet, kerja keras mencari uang tambahan. Motor yang dibelinya, Ia gunakan untuk berjualan kacang telur. ”Saya suruh orang saja buat kacang telur. Terus saya jual dengan dititip ke kaki lima. Dulu pedagang kaki lima banyak. Ada sekitar 150 kaki lima yang saya titip kacang telur,” katanya.
Setiap hari seusai pulang kerja, Darupun berkeliling menitipkan kacang telur dan mengambil keuntungan dari hasil penjualan kacang telur di setiap pedagang kaki lima. Biarpun usahanya kecil-kecilan, ternyata hasil penjualan kacang telur di kaki lima lumayan menguntungkan. Setiap hari saja, dari satu warung untungnya Rp2.000. Artinya kalau ada 20 warung berarti untungnya Rp40.000. Bisa dihitung keuntungan cukup besar, soalnya Ia menitipkan kacang telurnya di 150 kaki lima yang ada di Batam Centre, Nagoya Jodoh, Sekupang dan daerah Batam lainnya.
Usaha jualan kacang telur lenyap, seiring dengan makin berkurannya kaki lima karena pedagang-pedagang kaki lima ditertibkan oleh pemerintah. Saat itulah usaha kacang telur tutup. ”Ya hilang kacang telurnya. Tapi saya sudah untung,” ujarnya.
Akhirnya Punya Bengkel Teralis Sendiri
KEADAAN Daru berubah menjadi lebih baik setelah menikahi gadis bernama Laily Masruhah. Mereka berdua akhirnya membeli rumah di KDA, lalu membuka usaha wartel di rumahnya. Usaha inipun lumayan menghasilkan di masa itu.
Setelah usaha wartelnya tutup. Daru mencari bisnis lain dan ketemulah bisnis dengan prospek cerah yaitu bisnis pembuatan teralis. Perumahan padat di Batam Centre merupakan pangsa pasar besar. Iapun segera mewujudkannya. Karena Daru yang tak bisa membuat teralis secara teknis, maka ia menyuruh orang lain untuk membuat teralis.
Waktu itu Daru hanya membuat brosur sederhana dari kertas kuarto. Di brosur itu, ia menuliskan Maharani menerima pembuatan terlaris. Lalu diberi gambar teralis sederhana dari komputer. Lima ratus (500) lembar brosur disebarkan ke beberapa perumahan. ”Sebelum pergi bekerja, saya pagi-pagi keliling ke rumah-rumah. Saya selipin brosur di bawah pintu,” katanya.
Baginya, untuk menawarkan jasa teralis tak perlu memakai contoh-contoh foto teralis. Selain karena baru merintis, menawarkan brosur dengan foto aneka teralis tidak memungkinkan bagi Daru. ”Saya tak percaya kalau mau usaha itu harus pakai modal dulu. Tanpa modalpun kita sebenarnya bisa memulai usaha. Saya buka usaha teralis tak pakai modal, hanya modal brosur,” ujar Daru.
Menurutnya usaha itu harus pelan-pelan. Justru dengan pelan-pelan itu kita menjadi tahu kelemahan usaha yang sedang dijalankan. Kalau usaha dimulai dengan modal, usaha itu juga belum tentu sukses dan berjalan. Usai menyebar brosur, besok harinya, seseorang menelponnya dan itulah pesanan teralis perdananya. Daru menerapkan sistem uang muka 30 persen pada pelanggannya itu. Untuk mengerjakan teralis pesanan konsumennya, Daru mendatangi jasa pembuatan teralis lain untuk mengerjakannya yang sebelumnya telah dilobi untuk bekerjasama dengannya.
Kondisi seperti itu berjalan hanya lima bulan saja. Pasalnya pelanggannya kian banyak, tapi teralis yang diorderkan dan di-sub ke jasa pembuatan teralis lain rupanya tidak selesai dalam tempo yang dijanjikan ke pelanggan. ‘”Saya jadi banyak dikomplen. Ya sudah, akhirnya saya putuskan untuk dikerjakan sendiri. Saya ajak dua orang yang saya kenal dan bisa buat teralis. Saya bilang, ayolah ikut dengan saya untuk membuat teralis. Dan mereka mau,” cerita Daru.
Ia sendiri, sampai sekarang secara teknik tak mengerti pembuatan teralis. Untuk mengerjakan teralis-teralis itu, Daru menyewa sebuah rumah di BidaAsri I, sementara kantor usaha jasa pembuatan teralis tetap dijalankan dari rumahnya di KDA. Perlahan-lahan pelanggannyapun kian banyak seiring dengan upaya pelayanan terbaik dalam pembuatan teralis di Maharani. Salah satunya soal waktu pengerjakan teralis, Daru berupaya selalu tepat waktu sesuai dengan yang dijanjikan. Sekarang karyawannya pun tak lagi dua, tapi sudah tujuh orang karyawan. Kalau order sedang banyak, tenaga borongan makin banyak. Usahanya makin maju, niat Daru untuk keluar dari perusahaannya semakin kuat. ”Saya merasa, kerja di perusahaan itu, rasanya kok nggak maju-maju,” ujarnya.
Akhirnya ia memutuskan keluar dari perusahaan setelah bekerja hampir 4 tahunan. Tak lama setelah Daru keluar, ternyata perusahaan tempat bekerja itu bangkrut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar